Rabu, 24 Oktober 2007

SEKOLAH MASA DEPAN

Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah menjadi tempat digantungkannya harapan akan lahirnya generasi muda yang handal. Konon, asal mula sekolah adalah sejak jaman Yunani kuno, dimana pada waktu itu sekolah menjadi tempat orang tua bangsa tersebut menitipkan anaknya untuk belajar segala sesuatu tentang kehidupan. Pada waktu itu sekolah menjadi tempat idaman, tempat yang menyenangkan bagi anak-anak untuk mengetahui banyak hal tentang kehidupan,juga menjadi tempat yang menentramkan bagi orang tua untuk menyenangkan anak-anaknya sekaligus membuat anak-anaknya menjadi bertambah pengetahuannya. Kini, di saat sekolah menjadi lembaga pendidikan formal di seluruh negara dunia, dimana urusannya diatur dalam departemen tersendiri, sumber-sumber tenaga kependidikannya berasal dari lembaga pendidikan formal pula, serta kurikulumnya diatur sedemikian rupa, masihkah sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi sebagian besar anak-anak dan remaja, tempat mereka dapat memuaskan rasa ingin tahunya dan mengembangkan potensi dirinya, menjadi pribadi yang mandiri dan penuh percaya diri? Kenyataan di lapangan banyak yang menggembirakan, di samping banyak juga yang memprihatinkan. Angka kriminalitas yang dilakukan pelajar meningkat. Pemakaian dan peredaran narkoba telah merambah dunia remaja bahkan sampai masuk ke sekolah. Tawuran pelajar di sana sini terjadi. Semua itu sedikit banyak telah membuat orang mempertanyakan kembali fungsi sekolah dan pendidikan. Selama ini dunia pendidikan di Indonesia disibukkan dengan usaha meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan. Khususnya untuk sekolah, usaha dilakukan antara lain dengan penambahan jumlah serta fasilitas sekolah, menyiapkan tenaga-tenaga kependidikan, memperbaiki kurikulum. Usaha peningkatan kualitas dilakukan dengan berpedoman pada NEM, makin tinggi NEM lulusan makin tinggi kualitas sekolah tersebut. Khususnya untuk SMU, jumlah siswa yang dapat lolos masuk ke PTN juga menjadi salah satu ukuran kualitas sekolah yang bersangkutan. Dengan kata lain, orientasi dari sekolah-sekolah dalam meningkatkan kualitasnya adalah dari nilai pelajaran tertentu semata, dan bukan peningkatan yang berpusat pada kualitas anak secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dengan adanya otonomi daerah dimana daerah dapat mengembangkan sendiri pendidikannya, tulisan ini bermaksud menyumbangkan pemikiran mengenai sekolah masa depan yang sudah harus kita pikirkan dari sekarang, dengan berlandaskan fungsi dan tujuan sekolah itu sendiri.

Jenis-jenis kecerdasan pada manusia

Hampir setiap orang tua akan marah atau kecewa jika mendapati anaknya mendapat nilai buruk untuk matematika, IPA atau bahasa. Sampai saat ini masih banyak berlaku di masyarakat bahwa anak yang cerdas adalah anak yang memiliki nilai yang baik untuk mata pelajaran matematika, sains, dan bahasa. Oleh sebab itu, banyak anak terpaksa harus putus sekolah, karena merasa dirinya tidak mampu mengikuti ukuran kecerdasan tersebut. Padahal sebenarnya tidak ada manusia yang bodoh. Tuhan telah mengkaruniakan manusia otak yang sangat menakjubkan. Persoalannya, berabad-abad sekolah di seluruh dunia telah membatasi kecerdasan manusia pada 2 jenis kecerdasan saja.

Menurut Profesor Howard Gardner, pakar psikologi dari Universitas Harvard yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menganalisis otak manusia dan pengaruhnya terhadap pendidikan, manusia memiliki beberapa tipe kecerdasan, yaitu :

Kecerdasan linguistik, yaitu kemampuan dalam hal membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan kata-kata. Kemampuan ini sangat dikuasai oleh penulis, penyair, dan orator. Kecerdasan logika dan matematika, yaitu kemampuan dalam menalar dan menghitung. Ini sangat dikuasai oleh para ilmuwan, matematikawan, pengacara, dan hakim. I>

Kebanyakan sekolah berkonsentrasi pada kedua jenis kecerdasan ini. Demikian pula tes kecerdasan umumnya hanya difokuskan pada kedua jenis kecerdasan ini. Menurut Gardner, pendekatan semacam ini menutupi dan membatasi pandangan tentang potensi belajar yang sesungguhnya. Adapun kecerdasan lain yang semestinya juga diperhitungkan adalah :

Kecerdasan musical, berkembang dengan baik pada komposer, konduktor, dan musisi terkenal.

Kecerdasan spasial dan visual, kemampuan yang digunakan oleh arsitek, pematung, pelukis, navigator, dan pilot.

Kecerdasan kinestik atau kecerdasan fisik, sangat berkembang baik pada atlet, penari, pesenam.

Kecerdasan interpersonal, yaitu kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Kemampuan yang lazim dimiliki oleh penjual, motivator, dan negosiator.

Kecerdasan intrapersonal, atau kecerdasan introspektif ; kemampuan untuk memiliki wawasan, mengetahui jati diri sehingga dapat melahirkan intuisi yang luar biasa. I> Gardner juga mengemukakan bahwa orang yang kuat pada salah satu jenis kecerdasan, tidak serta merta kuat pada jenis kecerdasan lain. Oleh sebab itu, jangan keburu menganggap anak anda atau anda sendiri tidak cerdas hanya karena tidak bisa matematika, sebab mungkin anda kurang memiliki kecerdasan logika, namun memiliki keistimewaan pada kecerdasan lain.
2. Suasana belajar Dalam kehidupan sekolah sampai saat ini, umumnya sekolah kurang memperhatikan aspek suasana sekolah yang bisa mendorong timbulnya semangat belajar. Rutinitas berjalan seperti biasa, dimana guru-guru masuk ke kelas untuk mengajarkan materi, memberi tes yang jawabannya harus persis dengan di buku pegangan, untuk kemudian dihitung untuk dituliskan di buku rapor. Dalam rapat atau penataran-penataran juga demikian, kebanyakan orientasinya adalah bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran, yang otomatis maksudnya adalah meningkatkan nilai hasil ulangan atau nilai NEM. Jarang dibicarakan tentang aspek psikologis siswa, supaya siswa senang belajar dan mempunyai pemikiran positif dalam menghadapi persoalan. Ada cerita menarik yang dikutip dari buku berjudul Manajemen Pengajaran karangan DR. Suharsimi Arikunto. Disana digambarkan suasana sekolah di sebuah elementary school di Amerika, dimana setiap pagi setelah mendengar bel tanda masuk berbunyi, secara tertib seluruh siswa dan guru masuk ke aula. Pada dinding depan terpampang sebuah nyanyian lengkap dengan notasi balok yang dipancarkan dari sebuah slide projector. Dimulai dengan aba-aba sederhana, semua hadirin serentak bernyanyi dengan riang, bahkan beberapa diantaranya menggerak-gerakkan badannya mengikuti irama lagu yang riang tersebut, yang saat itu sedang popular di masyarakat. Setelah selesai menyanyi dan sorot nyanyian sudah lenyap, tanpa aba-aba semua siswa dan guru langsung menuju ke kelas masing-masing. Pelajaran berlangsung sebagaimana layaknya. Wajah-wajah ceria dan sorot mata bahagia memancar jelas dari setiap manusia di kelas. Rupanya, hal itu dilakukan sebagai kesepakatan antara pimpinan sekolah dan guru-guru, dilandasi dengan keyakinan bila hari dibuka dengan sesuatu yang menggembirakan maka hari tersebut akan diwarnai oleh suasana gembira. Suasana hati yang gembira akan memperlancar proses pembelajaran yang berlangsung. Contoh kecil di atas sejalan dengan pernyataan Kline dalam The Everyday Genius, yang menyatakan bahwa “learning is most effective when it’s fun.” Keadaan fun atau merasa senang akan melapangkan jalan seseorang dalam mendayagunakan seluruh potensinya secara optimal. Jika kita kembali menengok ke sekolah masa kini, ada sebagian siswa yang merasakan sekolah sebagai satu kesenangan, disamping banyak juga siswa yang merasakan sekolah sebagai satu tekanan dan hal yang memberatkan. Siswa yang merasakan sekolah sebagai suatu kesenangan umumnya adalah siswa yang memiliki gaya belajar akademis, dan memiliki dua kecerdasan yang dituntut sekolah : kecerdasan linguistik dan kecerdasan logis-matematis. Sedang sebagian yang lain, yang gaya belajarnya tidak sesuai dengan gaya belajar yang dituntut sekolah serta tidak memiliki 2 kecerdasan tersebut, akan membuat sekolah menjadi suatu beban dalam hidupnya. Siswa yang demikian tidak tahu apa makna belajar yang sesungguhnya, sehingga menjalankan kehidupan sekolah sebagai suatu keterpaksaan sekedar untuk mendapatkan nilai rapor atau ijazah. Dengan tantangan hidup yang semakin berat di masa-masa mendatang, dibutuhkan generasi muda yang handal, yang mampu menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Oleh sebab itulah pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional terus berupaya mengadakan perubahan-perubahan kurikulum dan kebijakan untuk meraih harapan tersebut. Diantara perubahan yang sekarang mulai diterapkan adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi dan kebijakan mengenai Ujian Akhir Nasional. Termasuk didalamnya adanya kriteria ketamatan dan kelulusan, dimana dengan adanya kebijakan ini diharapkan mutu lulusan dapat ditingkatkan. Namun di sisi lain, dengan kondisi sekolah sekarang tentunya cukup memberatkan bagi sebagian besar siswa. Oleh sebab itu, harus dipikirkan kembali penataan sekolah di masa depan, yang memungkinkan semua anak bisa bersekolah dan berhasil dengan baik.
Prinsip Dasar Sekolah

Sekolah dapat melayani kebutuhan setiap anak, yang memiliki kecerdasan dan gaya belajar yang berbeda-beda. Tidak seperti sekarang, yang hanya mengutamakan dua jenis kecerdasan saja dan satu macam gaya belajar saja.

Sekolah dapat membuat semua anak senang belajar dimana saja.

Sekolah dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dalam bertindak, belajar, dan mengatur masa depan sendiri secara mandiri.
Usaha-usaha untuk Menerapkan Prinsip Dasar tersebut

Usaha penataan fisik sekolah

Jumlah siswa dalam tiap kelas diperkecil, utamanya sekolah dasar (paling banyak 25 siswa) sehingga lebih mudah untuk melayani dan memperhatikan perkembangan setiap siswa.

Penataan ruang kelas yang fleksibel, tidak selalu dalam posisi seperti sekarang dimana 40 siswa dibagi dalam 4 baris yang menghadap ke papan tulis. Lebih baik apabila posisi siswa bervariasi dan memungkinkan komunikasi yang baik antara guru dengan siswa dan antar siswa itu sendiri, misalnya berbentuk u, atau berbentuk lingkaran, maupun berbentuk kelompok-kelompok kecil.

Adanya ruang konsultasi bagi siswa dan orang tua yang nyaman.

Adanya ruang-ruang belajar alternatif sehingga tidak selalu siswa belajar dalam kelas yang sama sepanjang tahun. Misalnya, adanya ruang khusus untuk belajar ketrampilan, kesenian misalnya menyanyi, melukis, menari, bermain drama, tempat terbuka seperti kebun atau taman, laboratorium, maupun kunjungan ke obyek-obyek di luar sekolah yang berkaitan dengan materi pelajaran.

Kebersihan dan kenyamanan seluruh bagian-bagian sekolah terjamin, termasuk kamar kecil dan kantin.

Usaha penataan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar

Dengan adanya kurikulum KBK maka sebenarnya guru lebih leluasa mengatur mana yang penting disampaikan kepada siswa sesuai kondisi di sekolah dengan cara yang bervariasi pula. Kurikulum ini juga disertai dengan program life skill, yang berarti dalam proses pembelajaran di sekolah siswa tidak hanya memiliki kompetensi akademik yang disyaratkan tapi juga memiliki ketrampilan-ketrampilan dasar untuk hidupnya. Namun apabila sekolah tidak menyiasati dengan tepat maka kurikulum yang dirancang sedemikian rupa ini tetap saja hasilnya tidak terlalu berarti. Selain itu, sekolah tetap terjebak dalam menilai siswa hanya dari dua jenis kecerdasan yang disebutkan di atas, yaitu kecerdasan linguistik dan logika matematika. Oleh sebab itu, hal-hal yang perlu ditata kembali adalah :

a. Mulai dari Sekolah Dasar, sekolah mempersiapkan dan menjalankan program penelusuran minat, bakat dan kemampuan anak, yang dilakukan secara sangat hati-hati dan bila perlu melibatkan ahli di bidang tersebut (psikolog). Oleh sebab itu, di sekolah-sekolah dasar perlu tersedia berbagai sarana yang diperlukan untuk dapat melihat minat dan bakat siswanya, misalnya ketrampilan, kesenian, dan olah raga. Dengan program ini, siswa dilihat secara utuh, tidak dikotak-kotak menjadi kelompok “pintar” dan “kurang pintar” hanya dari kacamata kecerdasan akademik (kecerdasan linguistik dan logika matematika). Tidak ada lagi siswa yang kurang percaya diri dan bermalas-malasan karena menganggap atau dianggap kurang pintar, sebab mungkin dia tidak mendapat nilai baik untuk matematika namun memiliki nilai istimewa untuk olah raga tertentu.

b. Dari program penelusuran minat, bakat dan kemampuan tersebut, anak diarahkan dan dikembangkan sesuai dengan potensi dirinya. Oleh sebab itu, mulai dari Sekolah Dasar sekolah perlu menyusun kurikulum untuk kebutuhan tersebut. Bukan berarti bagi anak yang berbakat kuat dalam bidang olah raga tidak perlu diajarkan matematika atau IPA misalnya, karena bagi semua lulusan SD harus dapat memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung dengan baik, demikian pula lulusan Sekolah Menengah dan Umum harus memiliki kompetensi dasar yang disyaratkan. Yang dimaksudkan penulis adalah adanya pengaturan jam-jam pelajaran yang berbeda sesuai dengan kelompok minat dan bakat siswa. Secara keseluruhan, siswa memperoleh jumlah jam yang sama untuk kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung, dan pengetahuan alam serta pengetahuan sosial, namun di luar itu siswa dikelompokkan sesuai minat dan bakatnya, misalnya ada kelompok matematika dan IPA, kelompok IPS, kelompok bahasa, kelompok seni dan ketrampilan, serta kelompok olah raga. Dengan kata lain, pembagian jurusan tidak dilakukan di sekolah lanjutan namun sejak sekolah dasar. Selanjutnya, sekolah lanjutan tinggal meneruskan mengembangkan potensi anak tersebut di tingkat berikutnya. Dengan demikian, sejak awal anak dapat menikmati sekolah, dapat mengambil manfaat dari sekolah sebagai tempat dia mengembangkan potensi dirinya. Di samping itu, dapat mengatasi masalah pendidikan di negara kita dimana kaum mudanya masih banyak yang tidak tahu arah, karena melalui pendidikan formal yang dilaluinya siswa harus menerima semua materi yang ditumpahkan oleh guru-guru di sekolah, suka atau tidak suka.

c. Adanya system penilaian yang akurat dan lengkap, dimana dari laporan penilaian (rapor atau ijazah) orang dapat membaca keistimewaan yang dimiliki setiap siswa.

d. Adanya proses pembelajaran yang bervariasi, terbuka, dan komunikatif. Peran guru sudah harus digeser, bukan lagi semata-mata sebagai pemberi materi tapi sebagai pembuka jalan untuk membuka wawasan dan kreatifitas siswa. Oleh sebab itu, proses pembelajaran tidak selalu di kelas berupa ceramah dan latihan soal, namun bisa ke taman / kebun, perpustakaan, melihat film atau video yang menarik, membuka internet, ke lingkungan di luar sekolah yang berkaitan dengan materi pembelajaran, atau mendatangkan sumber pembelajaran ke dalam kelas, misalnya tenaga medis, kepala desa, dan sebagainya sesuai materi pelajaran. Melalui berbagai cara tersebut siswa dipancing untuk melihat masalah di sekitarnya dan berdiskusi mengenai pemecahan masalah tersebut. Dengan demikian siswa akan merasa menyenangi kegiatan belajar, menyadari bahwa dimana saja dia dapat belajar, dan terbiasa untuk peka terhadap lingkungan serta berpikir dan bertindak secara positif dalam menghadapi masalah, yang merupakan prinsip dasar dan kegunaan utama sekolah.

Usaha Penataan Suasana Sekolah

Seluruh komponen sekolah menunjukkan sikap yang bersahabat, ceria, dan saling menghormati, mulai dari Kepala Sekolah, guru-guru, pegawai TU, perpustakaan, tukang kebun, dan seluruh siswa. Untuk itu, paling tidak tenaga kependidikan di sekolah memiliki penghasilan yang cukup memadai. Di samping itu, pola kepemimpinan Kepala Sekolah yang bersikap terbuka dan demokratis sangat diperlukan, sehingga seluruh tenaga kependidikan merasa dihargai dan berusaha melakukan yang terbaik sesuai tanggung jawabnya. Akibatnya, siswa akan terkena imbasnya, tidak ada lagi yang takut ke sekolah karena ada guru yang kiler, atau yang minder dan benci karena merasa tidak diperhatikan gurunya. Kepala sekolah dan guru yang menunjukkan sikap yang bersahabat dan menghormati hak siswa akan melahirkan siswa yang bersahabat serta menghormati gurunya pula. Sikap positif demikian tentu akan mempengaruhi kesukaan anak akan sekolah dan belajar.

Adanya peraturan kedisiplinan yang jelas dan tegas dari pihak sekolah, dimana yang tidak mematuhi mendapat sangsi yang sesuai , demikian pula yang berprestasi dan berdisiplin mendapat penghargaan yang semestinya pula. Perlunya ketegasan dalam disiplin yang telah ditetapkan rambu-rambunya bukan untuk menekan kebebasan siswa namun untuk mendidik siswa dapat menempatkan dirinya sesuai peraturan dalam lingkungan yang dia hadapi kelak.

Adanya hubungan yang harmonis antara sekolah, orang tua dan masyarakat sekitar sekolah. Dalam kesempatan lain penulis akan menuliskan contoh bagaimana Singapura menerapkan hal ini sebagai program pendidikan di negaranya, sehingga kerjasama benar-benar bisa terjalin, tidak seperti pembentukan Dewan atau Komite Pendidikan di masa sekarang yang perannya masih kurang bisa dirasakan.
Untuk dapat mewujudkan sekolah masa depan seperti yang telah diuraikan di atas tentunya tidak semudah mengatakannya. Namun paling tidak, sejak sekarang harus diupayakan pemikiran-pemikiran dan usaha memulai suatu pendidikan formal yang bisa memperbaiki apa yang selama ini telah dicapai untuk kepentingan ke depan. Usaha memperbaiki dan meningkatkan pendidikan tidak bisa dilakukan hanya dengan menambal sulam kekurangan-kekurangan yang ada. Satu hal lagi, ide dan langkah besar, selalu diawali dengan langkah-langkah kecil untuk mewujudkannya.

Selasa, 23 Oktober 2007